Minggu, 14 Agustus 2011

HUKUM OBAT BERALKOHOL

Sebagian obat mengandung alkohol dalam prosentase tertentu. Apa hukumnya?
س: بعض الأدوية يكون فيها نسبة من الكحول فما حكم استعمالها ؟ وإذا كان لا بد في تركيبها من هذه الكحول. أفيدونا؟
Pertanyaan, “Sebagian obat mengandung alkohol dalam prosentase tertentu. Apa hukum mengkomsumsi obat semacam itu? Jika suatu obat itu harus mengandung alkohol, apa status hukumnya?
ج: أرى أنه يجوز استعمالها عند الحاجة والضرورة،
Jawaban Syaikh Ibnu Jibrin, “Kami berpandangan bolehnya mengonsumsi obat semacam itu ketika memang dibutuhkan atau dalam kondisi terpaksa.
وذلك لأن هذه النسبة قليلة فيها،
Alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, prosentase alkohol dalam obat tersebut rendah (sehingga pengaruh alkohol dalam obat tersebut tidak ada, pent)
ثم هي مستهلكة في ذلك الدواء كالنبيذ الذي صب عليه ماء كثير أزال تأثيره،
Kedua, alkohol dalam obat tersebut sudah mengalami proses istihlak (hilangnya pengaruh dan ciri fisik suatu materi karena telah bercampur dengan materi yang lain, pent). Alkohol dalam hal ini tidaklah berbeda dengan nabiz (khamar yang berasal dari buah-buahan) yang dicampuri dengan air dalam jumlah besar sehingga pengaruh nabiz tersebut hilang (sedangkan para ahli fikih menilai bahwa nabiz dalam kondisi semisal ini tidak lagi dinilai sebagai khamr, pent).
ولأن الأدوية علاج أمراض لا تؤكل ولا تشرب، والوعيد في الخمر ورد على الشرب،
Ketiga, obat yang beralkohol dikomsumsi untuk terapi penyakit bukan untuk dinikmati dengan dimakan atau diminum. Sedangkan ancaman keras terkait dengan khamr adalah menikmati khamar dengan meminumnya.
ولأنها في هذه الحال لا تتصف بالإسكار، ولو كانت تخدر العضو أو الجسم فهي كالبنج ونحوه،
Keempat, alkohol dalam kondisi di atas tidaklah memiliki sifat memabukkan. Andai alkohol tersebut mematikan rasa pada satu bagian anggota badan ataupun keseluruhan badan maka statusnya sebagaimana obat bius (yang menghilangkan kesadaran namun tidak dinilai sebagai khamr, pent).
ولأنها لا يتلذذ بها بخلاف المسكرات فإنها تشرب للتلذذ وتهواها النفوس وتطرب لها، ويحصل بها نشوة وارتياح والتذاذ، وليس كذلك هذه الأدوية التي تجعل فيها هذه المادة حتى تحفظ عليها وظيفتها وتمنعها من التعفن والتغير،
Kelima, obat yang bercampur alkohol tersebut tidaklah dinilai ‘nikmat’ berbeda dengan minuman memabukkan yang diminum untuk ‘kenikmatan’, jiwa pun menyukainya dan peminumnya bisa merasa ‘fly’. Lain keadaannya dengan obat yang mengandung unsur alkohol yang fungsi terapi dari obat tersebut tetap terjaga (meski mengandung alkohol) juga terjaga dari perubahan sifat fisiknya (sehingga berubah menjadi memabukan).
فإن وجد ما يقوم مقامها غيرها، فلا أرى استعمالها إلا عند الضرورة، والله أعلم.
Namun jika ada obat yang bersih dari alkohol dan bisa menggantikan fungsi obat yang beralkohol maka kami berpandangan bahwa obat yang beralkohol tersebut tidak boleh dikonsumsi kecuali dalam kondisi darurat”.
الفتاوى الشرعية في المسائل الطبية (الجزء الأول) ص26-
Demikian fatwa Ibnu Jibrin sebagaimana termaktub dalam buku al Fatawa al Syar’iyyah fi al Masail al Thibbiyyah jilid 1 hal 26
Sumber:http://www.ibn-jebreen.com/book.php?cat=6&book=49&toc=2158&page=1994&subid=17414
Catatan:
Fatwa di atas menunjukan bahwa ada istilah darurat dalam pengobatan. Artinya materi yang haram atau mengandung unsur yang haram itu boleh dikonsumsi sebagai obat dalam kondisi darurat.
Khamr adalah semua materi yang memiliki sifat iskar (memabukkan). Sesuatu itu dinilai memiliki sifat iskar jika memenuhi dua kriteria: a) menghilangkan kesadaran b) menimbulkan rasa nikmat.
Oleh karena itu, obat bius untuk kepentingan operasi itu tidak termasuk khamar meski obat tersebut memiliki sifat menghilangkan kesadaran. Akan tetapi karena kriteria kedua tidak terpenuhi maka obat bius tidaklah tergolong khamr yang diharamkan untuk dikonsumsi.
Demikian pula obat yang beralkohol, tidak ada padanya dua kriteria di atas sehingga tidak bisa digolongkan sebagai khamr.
Di antara kaedah penting terkait najis dan kehalalan suatu produk pangan adalah istihlak yang definisinya telah saya sampaikan dalam terjemah fatwa di atas. Ketika ada suatu najis yang masuk ke dalam air sehingga sifat fisik air berubah kemudian air tersebut ditambahi air dalam jumlah yang sangat banyak sehingga pengaruh najis tersebut hilang maka air tersebut kembali berstatus sebagai air yang suci.
Demikian ketika khamar atau alkohol dimasukkan dalam suatu materi lalu dimasukkan ke dalamnya berbagai materi yang lain sehingga sifat khamr yaitu memabukkan itu hilang dan tidak bersisa sama sekali maka materi tersebut berstatus halal.
sumber :Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah.

Tidak ada komentar: